Bukit Steling merupakan sebuah wilayah perbukitan memanjang berarah utara-selatan yang terletak di Kelurahan Selili dan Kelurahan Sungai Dama, Kecamatan Samarinda Ilir, Kota Samarinda. Masyarakat Samarinda lebih mengenal dengan nama Gunung Steling daripada Bukit Steling. Penyebutan gunung secara geologi sebenarnya kurang tepat, mengingat elevasi tertinggi bukit ini hanya 117 m (DEMNAS).
Berdasarkan ketinggian relatif, maka “gunung steling” ini masuk dalam kategori perbukitan rendah yang ketinggiannya berkisar 50 m – 200 m (Ike Bermana, 2006). Sementara istilah gunung menurut Glossary of Landform and Geolologic Terms, merupakan suatu area dengan ketinggian lebih dari 300 m dengan kemiringan lereng lebih besar dari 25%.
Wilayah ini sejak dulu merupakan daerah yang sudah ditempati masyarakat. Kita dapat memanfaatkan ilmu penginderaan jauh untuk mengetahui hal tersebut. Menggunakan informasi koleksi citra satelit pada aplikasi google earth, terlihat di awal tahun 2000-an kawasan ini sudah dipenuhi pemukiman. Hingga sekarang, lokasi pemukimannya bahkan mencapai daerah puncak bukit. Memang lokasi ini sangat strategis, seperti dekat dengan Pelabuhan kota, dekat dengan Sungai Mahakam, dan memiliki pemandangan yang luar biasa apabila berada di puncak bukit. Namun selain keindahan tersebut, bukit ini juga memiliki potensi bahaya geologi berupa tanah longsor. Hal ini disebabkan semakin padatnya perumahan warga sehingga menambah berat beban lereng dalam menyangga kekuatan perbukitan yang ada. Oleh karena itu, melalui tulisan singkat ini akan disampaikan mengenai kondisi geologi dan potensi Bukit Steling.
- Kondisi Geologi
Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Samarinda skala 1 : 250.000, kawasan Bukit Steling ini berada pada Formasi Pulaubalang. Formasi ini tersusun atas perselingan antara grewake dan batupasir kuarsa, dengan sisipan batugamping, batulempung, batubara, dan tuf dasit (S. Supriatna, Sukardi, E. Rustandi, 1995). Kemudian lokasi ini juga berada di jalur sesar/patahan yang berarah timur laut - barat daya. Selanjutnya hal ini dipertegas lagi oleh Peta Geologi Hasil Interpretasi Inderaan Jauh skala 1 : 50.000 lembar 1915-41 dan 1915-13, bahwa daerah ini dilalui oleh jalur patahan.
Kemudian berdasarkan data survey lapangan didapat bahwa litologi dominan di kawasan ini berupa batulempung sisipan batupasir. Kemiringan batuan berkisar antara 390 – 540. Adapun deskripsi batuannya adalah sebagai berikut: Batulempung berwarna abu-abu kehitaman, setempat terdapat lapisan batubara. Batupasir, warna lapuk coklat kemerahan, warna segar putih hingga abu-abu, ukuran butir halus - sedang, bentuk butir menyudut tanggung.
Lokasi singkapan batuan di Bukit Steling ini juga searah dengan singkapan batuan yang berada di Jalan Trikora, Samarinda Seberang, dengan kemiringan batuan adalah 610. Selama rentang waktu tahun 2020 – 2021 telah terjadi bencana tanah longsor di sekitar lokasi ini. Akibat yang ditimbulkan oleh longsor ini hingga menutup ruas jalan arah Palaran-Samarinda Seberang.
Secara geologi, baik di Bukit Steling maupun di Jalan Trikora, keduanya berada di jalur patahan. Hasil penelitian tim kajian risiko BPBD Samarinda menyebutkan bahwa jenis patahan di wilayah ini adalah patahan naik. Keberadaan patahan mengakibatkan kawasan tersebut banyak memiliki bidang lemah pada batuannya, yang berwujud retakan-retakan atau rekahan-rekahan. Akibatnya batuan di daerah ini mudah mengalami pelapukan, yang disebabkan oleh hujan, panas matahari, dan aktivitas manusia.
- Kondisi Potensi
Terdapat 2 (dua) potensi yang berkaitan dengan geologi di kawasan Bukit Steling ini, yaitu kebencanaan dan geowisata.
Bukit Steling merupakan daerah yang rawan terhadap kejadian tanah longsor. Berdasarkan data dari BPBD Samarinda melalui Laporan Kajian Kestabilan Lereng Kelurahan Selili tahun 2019, terdapat 5 (lima) kejadian bencana tanah longsor yang mengakibatkan kerugian yang signifikan, yaitu: tahun 1999 yang mengakibatkan 11 bangunan rumah ambruk, tahun 2007 dengan 4 rumah terpapar, tahun 2015 terdapat 2 rumah ambruk, tahun 2016 tejadi longsoran di beberapa tempat yang berbeda dalam satu kawasan, dan tahun 2017 diketahui 6 rumah ambruk. Kemudian pada tahun 2019, 2020, dan 2021 juga terdapat beberapa kejadian tanah longsor yang mengakibatkan kerusakan rumah warga.
Pemerintah Kota Samarinda sebenarnya sudah menyebutkan bahwa di Kelurahan Selili merupakan kawasan rawan bencana alam dengan kategori rawan longsor pada Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Samarinda tahun 2014 – 2034.
Namun seiring berjalannya waktu, kawasan yang sudah diketahui rawan longsor tersebut, bebannya menjadi semakin lebih berat lagi. Bertambahnya jumlah bangunan, berubahnya model bangunan kayu menjadi batu bata, dan semakin berkurangnya area hutan, semakin mengganggu kestabilan lereng di kawasan ini. Pada musim penghujan semakin berpotensi akan terjadinya tanah longsor. Retakan-retakan tanah yang telah lapuk akan semakin jenuh air dan akhirnya memicu terjadinya longsoran.
Di sisi lain, kawasan ini juga memiliki potensi unggulan untuk pengembangan geowisata, yaitu menikmati pemandangan Sungai Mahakam dan sekitarnya dari puncak bukit. Jalur pendakian menuju puncak bukit dapat dibuat dengan jalur pendakian yang relatif dapat diakses oleh semua kalangan. Pembuatan jalur lintas menuju puncak Bukit Steling yang lebih baik dan aman dapat menarik kedatangan para penikmat wisata alam. Hal ini tentunya akan mendukung program Pemerintah dalam mengembangkan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Pembangunan yang bersifat mendukung keberadaan wisata alternatif ini tentu harus memperhatikan jenis dan jumlahnya. Jangan terlalu banyak dan tidak besar, karena akan mengurangi kenyamanan para pengunjung dan tentunya berpengaruh terhadap kestabilan lereng Bukit Steling.
Tentu dengan adanya potensi geologi yang berlawanan tersebut, maka upaya mitigasi menjadi sesuatu yang bersifat wajib untuk dibuat, dipatuhi, dan dilaksanakan, baik oleh Pemerintah Kota Samarinda maupun masyarakat di kawasan Bukit Steling. Adapun upaya-upaya mitigasi bencana dapat berupa sosialisasi tentang potensi bahaya tanah longsor, pemahaman tentang alur pelaporan ke pemerintah setempat ketika ada gejala awal akan terjadinya tanah longsor, simulasi evakuasi apabila terjadi tanah longsor, pembuatan rambu-rambu tanda bahaya dan jalur evakuasi, penegakan Perda dengan melarang pembangunan bangunan baru lagi, dan jika memungkinkan, penduduk di kawasan ini dapat direlokasi ke wilayah lain yang lebih aman. Karena perlu diingat bahwa mitigasi bukan berarti meniadakan bencana namun lebih ke arah meminimalisir risiko bencana yang terjadi.